Wednesday 2 September 2015

Full Time Mother

Saya lebih suka disebut Full Time Mother (FTM) daripada Ibu Rumah Tangga (IRT), kalau ada yang bilang 
Sekarang jadi ibu Rumah Tangga ki?
Ga ada rumah apalagi tangga, yang saya urus cuma anak, hehehe
Agak sensitif kalo ditanya itu, karena masih bete harus sabar tinggal jauh-jauhan sama suami, mungkin orang-orang pada mikir ya elaaah Bandung-Jakarta doang, tapi kan tetep aja disini tinggalnya masih pindah-pindah (rumah mertua, rumah mamah) keenakan numpang terus ga berasa ngurus keluarganya. Laaah kok jadi curhaaat :p

Kepikiran aja sama beberapa update atau status temen saya di beberapa sosial media, yang IRT membanggakan ke-IRT-annya karena anak diurus tanpa bantuan baby sitter atau sejenisnya plus ngurus rumah dan suami. Yang Working Mom (WM) juga bangga karena bisa terus berkarya dengan pekerjaannya sekaligus bisa urus rumah, walaupun satu sisi mereka juga ada perasaan sedih karena harus meninggalkan anaknya dirawat orang lain.

Saya pro yang mana? kalau menurut saya sih dua-duanya oke, karena sebelumnya saya berekspektasi menjadi WM dan kenyataannya sekarang jadi FTM, mungkin kalau dari dulu saya tinggal satu kota dan satu rumah sama suami saya akan jadi WM, tapi mungkin ya takdir mengatakan lain. Saya resign waktu uur kandungan 6 bulan, meninggalkan "karir yang menjanjikan" kalau kata tablemate kantor saya :p Waktu Rei (Reiko, atau baby R, labil dalam penyebutan anak tapi paling enak ngetiknya Rei aja kali ya, hehehe) umur 3 bulan saya bilang ke suami "kalau miku masih kerja sekarang miku harus balik ke Cilegon nih"ada sedikit nada kepengen balik lagi ke suasana kerja, tapi kalo di Cilegon sendiri atau di bantu "mbak"trus ketemu suami weekend lagi sih males juga.
Family should stick together
Cita-cita yang masih belum kesampean ampe sekarang, karena terlahir dari keluarga yang selalu punya satu rumah jadi tempat pulang, saya masih mengaggap kalau keluarga yang sebenarnya itu yang seperti itu. Papa pergi kerja, mama pergi ke pasar, saya ke dan kakak saya kesekolah, pulang sekolah makan masakan mama, bobo siang, main sore sama temen-temen komplek, malam nonton tv atau belajar sampai tidur dan berlanjut sampai dewasa dengan kegiatan yang bervariasi tapi tetap satu tempat untuk pulang bagi semua anggota keluarga.

Kayaknya OOT nih, hehehe maap maap jadi banyak curhat. Jadi FTM ataupun WM kalau menurut saya tergantung orangnya sih, dan hasil pendidikan anak ga tergantung dari status FTM atau WM nya seorang ibu. Semua balik lagi ke sifat ibunya masing-masing, apakah memprioritaskan perkembangan pendidikan anak dari dirinya sendiri atau ngga. Ternyata ada juga para WM yang masih sempet ngeblog tentang parenting, dari bayi sampe besar dia masih sempet memperhatikan  makannya anak, sekolah anak, mainan anak, dan sempet pula ngepostnya menjadi tulisan di blog, bahkan lebih kreatif karena berfikir waktu dia hanya sedikit untuk anak. FTM juga ada yang bisa seperti itu, tapi ada juga FTM yang mungkin ya karena maerasa pekerjaan rumah udah repot, dan selalu mencari-cari hiburan dibalik ribetnya ngurus rumah dan anaknya atau bisa juga karena lack of knowledge karena berada di rumah terus jadi mengurus anak seadanya, asal tumbuh asal sehat.
Kalau jadi FTM anak jadi susah mandiri, bergantung terus sama kita
Saya produk FTM, suami saya juga, tapi cerita masa kecil saya lebih anteng ikut siapapun dan bisa melakukan apa apa sendiri, dari SD udah sering disuruh masak nasi, belanja dan bermain sama temanpun bebas aja walaupun tanpa ortu. Suami saya waktu kecil katanya ga bisa pisah sama ibunya sama sekali, walaupun lagi main dengan saudara-saudara seumurannya dia beberapa kali memastikan kalau ibunya ada di rumah dan tidak pergi meninggalkan dia. Jadi balik lagi ke sifat anaknya kalau itu.
Kalau jadi WM anak diurus pembantu, pendidikan rumahnya dimulai dari orang lulusan SD atau SMP bukan s1 atau s2 kayak ibunya
 Nah Kalau ini balik lagi ke ibunya yaaa, menyempatkan diri untuk perkembangan anaknya setiap hari atau tidak, baik FTM atau WM bisa kok melakukannya. Yang namanya Asisten Rumah Tangga kan asisten, membantu, otaknya dari kita dia yang ngerjain yang ga bisa kita kerjain bersamaan. Mungkin memang ada beberapa ibu yang sempat lupa karena kesibukannya di kantor, jadi ga inget kapan dia terakhir ngobrol berdua anaknya, kapan terakhir dia main sama anaknya, tapi itu beberapa case buat ibu yang "khilaf" bahkan FTM pun bisa khilaf, hehehe.
kasian ya jadi FTM, di rumah terus ga ada pengetahuan atau sosialisasi di luar
Eits, saya juga sempet salah kaprah soal ini. Saya ngebayangin sedihnya jadi FTM atau IRT yang lingkungannya rumah lagi rumah lagi, sosialisasinya paling ngobrol sama tetangga. Tapi jangan sekarang buat jadi ibu cerdas itu gampang, ada internet ada sosial media buat kita tau dunia luar. Makanya kalau saya lagi browsing suami saya lewat telpon nanya "lagi apa?" "lagi liat dunia luar" yang artinya saya lagi buka sosial media atau browsing-browsing, hehehe. Nambah ilmu juga bisa lewat internet, atau bisa juga dengan ngobrol-ngobrol dengan orang yang ber-ilmu, hehehe. Tapi percayalah jadi FTM juga capek, kadang-kadang capek batin karena ga bisa kemana-mana, apalagi kalau anaknya masih bayi kayak saya:p

Jadi semuanya tergantung bu ibu masing masing ya kalau menurut saya, mau jadi FTM mau jadi WM kalau kita niatin fokus ke perkmbangan anak yang berkualitas pasti bisa. dan yang pasti katanya sih anak anak di masa golden agenya (Sampai 3 taun ya kalau ga salah?) memang butuh perhatian lebih. perhatian bisa dari ibunya, neneknya, ayahnya, maupun pengasuhnya. Kok bahasa saya jadi sotoy ya, padahal puny anaka aja baru 5 bulan, hehehe. Saya cuma membandingkan penglaman-pengalaman saya ketahui aja sih, kalau kenyataannya kan bu ibu sendiri yang ngalamin :D
 
 

No comments:

Post a Comment

Penyakit Gondongan yang sedang merebak

Wow, it's been very long time ago since the last post . Baru aja cek apa aku bisa masuk ke blog ini lagi? ternyata bisa moms ! hihihi. S...